Senin, 02 Februari 2015

BUKU HIDUP, HADIAH TERINDAH DARI TUHAN




Ibuku seorang guru. Kondisi kakak-kakakku yang masih kecil kala itu cukup merepotkan beliau. Usiaku saat itu mungkin  katanya sekitar lima tahun. Ibuku biasa mengajakku ke sekolah tempatnya mengajar, karena kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah. Sebagai anak kelima dengan mengajakku ke sekolah waktu beliau mengajar mungkin sebagai alternatif mengurangi kerepotan beliau. Sembari ikut memperhatikan Ibu mengajar, aku justru asyik ikut duduk di bangku siswa. Mungkin secara tidak sengaja aku ikut belajar calistung di kelas itu, karena kebetulan Ibu mengajar di kelas satu.
Aku belum begitu jelas mengingat suasana kelas saat itu. Pun tak tergambar dalam ingatanku bagaimana awalnya Ibu mengenalkan aku pada buku. Yang aku ingat adalah Ibu bercerita di depan semua saudara-saudaraku, tentang satu hal. Kalau tidak salah pada saat aku akan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama. Kenapa beliau bercerita waktu itu adalah karena saat mendaftar menjadi murid baru aku selalu dikatakan masih kurang umur dan terlihat masih telalu kecil.
Ibu menceritakan bahwa ketika dulu aku ikut duduk di bangku, di ruangan kelas satu, aku mendengar dan memperhatikan Ibu mengajar. Banyak hal yang tak sengaja kupelajari saat itu. Apapun kegiatan di kelas semua kuikuti. Para siswa belajar menulis, aku ikut menulis. Lain waktu, mereka belajar mengeja aku juga ikut mengeja. Tiba waktunya pelajaran matematika, aku ikut mengerjakan. Sampai waktunya ujian tertulis aku juga ikut ujian. Hingga tiba waktunya kenaikan kelas, kata Ibuku, di ruang guru terjadi dialog yang cukup menggelikan. Salah satu guru mengatakan : “ Sudahlah, naikkan saja putri njenengan ke kelas dua!, wong nyatanya dia sudah lancar membaca”. Kepala sekolah waktu itu pun ikut menyetujui. Para guru pun akhirnya sepakat untuk menaikkan aku ke kelas dua!. Mereka bilang nilaiku lebih dari cukup untuk dapat dinaikkan ke kelas dua. Bahkan para siswa di kelas satu saat itu nilainya dapat kulampaui. Padahal waktu itu aku adalah anak bawang. Masuk kelas tanpa di daftarkan karena memang usia baru lima tahun dan hanya sebatas ikut ibu untuk bermain di sekolah di sambi mengajar oleh Ibu. Ibuku tak dapat menolak kesepakatan itu. Urusan pendaftaran di urus belakangan. Akhirnya naiklah aku ke kelas dua.
Mendengar Ibu menceritakan hal itu, timbul semangat dalam diriku. Aku merasa aku dapat mempelajari apapun lebih cepat dari teman sebayaku. Aku mulai gemar membaca. Bacaan waktu itu yang dengan cepat kulahap adalah majalah bobo. Itu pun ku lakukan jika kami berkunjung ke tempat saudara yang punya koleksi majalah bobo segudang. Setiap halaman kubaca dengan seksama. Apalagi ditunjang oleh gambar dan warna yang menarik. Aku menemukan keasyikan membaca. Waktu itu bahan bacaan untuk anak-anak masih sangat terbatas, karena aku terlahir di tahun  70-an. Generasi yang belum banyak bacaan untuk dapat kunikmati. Apalagi kami tinggal di desa kecil yang jauh dari fasilitas yang memadai. Besyukurlah yang menjadi orangtua saat ini. Banyak penerbit menyediakan buku-buku bergizi bagi anak-anak. Salah satunya adalah penerbit Mizan Dian Semesta.
Ada perbedaan karakter antara Ibu dan Bapak. Ibu lebih ekspesif dan rajin menasehati kami. Boleh dibilang terlalu sering mungkin Ibu menasehati kami. Sedangkan Bapak, beliau adalah sosok yang lebih banyak diam.Menasehati kami hanya ketika berhadapan dengan hal-hal  yang bersifat prinsip. Tetapi beliau sering menceritakan kisah-kisah yang cukup variatif di depan kami, anak-anaknya. Cara ini dipilih mungkin juga karena kami 8 bersaudara. Jadi, begitu kami duduk berkumpul, mulailah Bapak bercerita. Mulai dari kisah Timun Emas, Kancil mencuri Ketimun dan yang paling kami ingat adalah cerita tentang tokoh yang bernama “Betoteng”. Dongeng yang berisi kisah penuh pesan dan nilai moral. Cerita tentang sejarah kerajaan di masa lalu juga beliau ceritakan, seperti sejarah Singosari, Majapahit, Mataram, Demak, dan Mataram Islam. Beliau sangat fasih menceritakan tokoh-tokoh di balik kejayaan kerajaan tersebut. Bahkan hadiah-hadiah sayembara berupa putri-putri cantik beliau hampir hafal semua namanya.
Selain kisah kerajaan, kisah-kisah walisanga juga seringkali beliau ceritakan. Mulai dari Syekh Siti Jenar membangkang sampai kisah Raden Sahid berjuang dalam syiar islam di tanah jawa dan kemudian lebih di kenal sebagai Sunan Kalijaga. Apalagi jika beliau sudah mulai menceritakan perjuangan Nabi Muhammad saw, kami seperti tidak pernah kekurangan referensi dari beliau. Jalinan kisah-kisahnya sangat rapi tersampaikan kepada kami. Kami bersyukur, meski kami tidak dikenalkan pada buku dalam bentuk fisik, tetapi kisah-kisah yang beliau tuturkan kepada kami, tertanam di hati kami. Kami yakin begitulah cara beliau mengajarkan nilai-nilai perjuangan hidup, dakwah, dan nilai-nilai moral. Kadangkala dari cerita tersebut beliau pun menyampaikan makna di balik cerita. Tidak lupa pula tersemat ayat-ayat suci dan hadist Nabi diajarkan kepada kami. Dalam kebersamaan, mendengarkan dongeng, kami merasa dimudahkan belajar hal-hal yang sebetulnya tidak mudah dipelajari.
 Orangtuaku bukan kategori pencinta buku. Tapi aku tahu kedua orang tuaku sangat menghargai ilmu pengetahuan. Itu aku tahu kala aku akan masuk Sekolah Menengah Atas. Ibuku berulangkali menegaskan bahwa tujuan untuk sekolah adalah untuk mencari ilmu. Jangan pernah sekali pun berniat sekolah untuk mencari pekerjaan setelah lulus. Adapun pekerjaan yang didapatkan nanti setelah lulus adalah efek karena kita memiliki ilmu.
Kasih sayang orang tua kami mungkin tidak selalu ditampakkan secara jelas, namun dari cara mereka menyampaikan hal-hal prinsip dalam hidup melalui dongeng, berkumpul, bercerita dalam kebersamaan, hal tersebut sangat membekas di hati kami sampai kami dewasa. Seringkali  disaat kami sudah dewasa kami merindukan dongeng-dongeng beliau. 
Kendati orangtua kami tidak secara langsung mengenalkan buku dalam bentuk fisik kepada kami, kami merasakan lewat apa yang beliau berdua ajarkan kepada kami, kami menjadi manusia yang mencintai ilmu pengetahuan dan bahkan kami menjadi sangat ingin belajar segala hal dalam hidup. Saya pribadi bahkan menjadi individu yang sangat terobsesi pada buku. Ternyata benar, kalau dongeng merupakan salah satu metode  transfer pengetahuan yang efektif. Mereka berdua adalah lebih  dari sekedar guru besar bagi kami. Mereka adalah buku hidup yang dikirimkan untuk kami oleh Allah SWT. Maafkan kami yang belum dapat membalas semua kebaikan kalian. Doa kami,  semoga mereka berdua senantiasa sehat dan di ridhoi Allah SWT. Amiiien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar