Ibuku
seorang guru. Kondisi kakak-kakakku yang masih kecil kala itu cukup merepotkan beliau.
Usiaku saat itu mungkin katanya sekitar
lima tahun. Ibuku biasa mengajakku ke sekolah tempatnya mengajar, karena
kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah. Sebagai anak kelima dengan mengajakku
ke sekolah waktu beliau mengajar mungkin sebagai alternatif mengurangi
kerepotan beliau. Sembari ikut memperhatikan Ibu mengajar, aku justru asyik
ikut duduk di bangku siswa. Mungkin secara tidak sengaja aku ikut belajar
calistung di kelas itu, karena kebetulan Ibu mengajar di kelas satu.
Aku
belum begitu jelas mengingat suasana kelas saat itu. Pun tak tergambar dalam
ingatanku bagaimana awalnya Ibu mengenalkan aku pada buku. Yang aku ingat
adalah Ibu bercerita di depan semua saudara-saudaraku, tentang satu hal. Kalau
tidak salah pada saat aku akan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama. Kenapa
beliau bercerita waktu itu adalah karena saat mendaftar menjadi murid baru aku
selalu dikatakan masih kurang umur dan terlihat masih telalu kecil.
Ibu
menceritakan bahwa ketika dulu aku ikut duduk di bangku, di ruangan kelas satu,
aku mendengar dan memperhatikan Ibu mengajar. Banyak hal yang tak sengaja kupelajari
saat itu. Apapun kegiatan di kelas semua kuikuti. Para siswa belajar menulis,
aku ikut menulis. Lain waktu, mereka belajar mengeja aku juga ikut mengeja.
Tiba waktunya pelajaran matematika, aku ikut mengerjakan. Sampai waktunya ujian
tertulis aku juga ikut ujian. Hingga tiba waktunya kenaikan kelas, kata Ibuku,
di ruang guru terjadi dialog yang cukup menggelikan. Salah satu guru mengatakan
: “ Sudahlah, naikkan saja putri njenengan ke kelas dua!, wong nyatanya dia
sudah lancar membaca”. Kepala sekolah waktu itu pun ikut menyetujui. Para guru pun
akhirnya sepakat untuk menaikkan aku ke kelas dua!. Mereka bilang nilaiku lebih
dari cukup untuk dapat dinaikkan ke kelas dua. Bahkan para siswa di kelas satu
saat itu nilainya dapat kulampaui. Padahal waktu itu aku adalah anak bawang.
Masuk kelas tanpa di daftarkan karena memang usia baru lima tahun dan hanya
sebatas ikut ibu untuk bermain di sekolah di sambi mengajar oleh Ibu. Ibuku tak
dapat menolak kesepakatan itu. Urusan pendaftaran di urus belakangan. Akhirnya
naiklah aku ke kelas dua.
Mendengar
Ibu menceritakan hal itu, timbul semangat dalam diriku. Aku merasa aku dapat
mempelajari apapun lebih cepat dari teman sebayaku. Aku mulai gemar membaca.
Bacaan waktu itu yang dengan cepat kulahap adalah majalah bobo. Itu pun ku
lakukan jika kami berkunjung ke tempat saudara yang punya koleksi majalah bobo
segudang. Setiap halaman kubaca dengan seksama. Apalagi ditunjang oleh gambar
dan warna yang menarik. Aku menemukan keasyikan membaca. Waktu itu bahan bacaan
untuk anak-anak masih sangat terbatas, karena aku terlahir di tahun 70-an. Generasi yang belum banyak bacaan
untuk dapat kunikmati. Apalagi kami tinggal di desa kecil yang jauh dari
fasilitas yang memadai. Besyukurlah yang menjadi orangtua saat ini. Banyak
penerbit menyediakan buku-buku bergizi bagi anak-anak. Salah satunya adalah
penerbit Mizan Dian Semesta.
Ada
perbedaan karakter antara Ibu dan Bapak. Ibu lebih ekspesif dan rajin
menasehati kami. Boleh dibilang terlalu sering mungkin Ibu menasehati kami.
Sedangkan Bapak, beliau adalah sosok yang lebih banyak diam.Menasehati kami
hanya ketika berhadapan dengan hal-hal yang
bersifat prinsip. Tetapi beliau sering menceritakan kisah-kisah yang cukup
variatif di depan kami, anak-anaknya. Cara ini dipilih mungkin juga karena kami
8 bersaudara. Jadi, begitu kami duduk berkumpul, mulailah Bapak bercerita. Mulai
dari kisah Timun Emas, Kancil mencuri Ketimun dan yang paling kami ingat adalah
cerita tentang tokoh yang bernama “Betoteng”. Dongeng yang berisi kisah penuh
pesan dan nilai moral. Cerita tentang sejarah kerajaan di masa lalu juga beliau
ceritakan, seperti sejarah Singosari, Majapahit, Mataram, Demak, dan Mataram
Islam. Beliau sangat fasih menceritakan tokoh-tokoh di balik kejayaan kerajaan
tersebut. Bahkan hadiah-hadiah sayembara berupa putri-putri cantik beliau
hampir hafal semua namanya.
Selain
kisah kerajaan, kisah-kisah walisanga juga seringkali beliau ceritakan. Mulai
dari Syekh Siti Jenar membangkang sampai kisah Raden Sahid berjuang dalam syiar
islam di tanah jawa dan kemudian lebih di kenal sebagai Sunan Kalijaga. Apalagi
jika beliau sudah mulai menceritakan perjuangan Nabi Muhammad saw, kami seperti
tidak pernah kekurangan referensi dari beliau. Jalinan kisah-kisahnya sangat
rapi tersampaikan kepada kami. Kami bersyukur, meski kami tidak dikenalkan pada
buku dalam bentuk fisik, tetapi kisah-kisah yang beliau tuturkan kepada kami,
tertanam di hati kami. Kami yakin begitulah cara beliau mengajarkan nilai-nilai
perjuangan hidup, dakwah, dan nilai-nilai moral. Kadangkala dari cerita
tersebut beliau pun menyampaikan makna di balik cerita. Tidak lupa pula
tersemat ayat-ayat suci dan hadist Nabi diajarkan kepada kami. Dalam
kebersamaan, mendengarkan dongeng, kami merasa dimudahkan belajar hal-hal yang
sebetulnya tidak mudah dipelajari.
Orangtuaku bukan kategori pencinta buku. Tapi aku tahu kedua orang tuaku sangat menghargai ilmu pengetahuan. Itu aku tahu kala aku akan masuk Sekolah Menengah Atas. Ibuku berulangkali menegaskan bahwa tujuan untuk sekolah adalah untuk mencari ilmu. Jangan pernah sekali pun berniat sekolah untuk mencari pekerjaan setelah lulus. Adapun pekerjaan yang didapatkan nanti setelah lulus adalah efek karena kita memiliki ilmu.
Orangtuaku bukan kategori pencinta buku. Tapi aku tahu kedua orang tuaku sangat menghargai ilmu pengetahuan. Itu aku tahu kala aku akan masuk Sekolah Menengah Atas. Ibuku berulangkali menegaskan bahwa tujuan untuk sekolah adalah untuk mencari ilmu. Jangan pernah sekali pun berniat sekolah untuk mencari pekerjaan setelah lulus. Adapun pekerjaan yang didapatkan nanti setelah lulus adalah efek karena kita memiliki ilmu.
Kasih
sayang orang tua kami mungkin tidak selalu ditampakkan secara jelas, namun dari
cara mereka menyampaikan hal-hal prinsip dalam hidup melalui dongeng,
berkumpul, bercerita dalam kebersamaan, hal tersebut sangat membekas di hati
kami sampai kami dewasa. Seringkali disaat kami sudah dewasa kami merindukan
dongeng-dongeng beliau.
Kendati
orangtua kami tidak secara langsung mengenalkan buku dalam bentuk fisik kepada
kami, kami merasakan lewat apa yang beliau berdua ajarkan kepada kami, kami
menjadi manusia yang mencintai ilmu pengetahuan dan bahkan kami menjadi sangat
ingin belajar segala hal dalam hidup. Saya pribadi bahkan menjadi individu yang
sangat terobsesi pada buku. Ternyata benar, kalau dongeng merupakan salah satu
metode transfer pengetahuan yang
efektif. Mereka berdua adalah lebih dari
sekedar guru besar bagi kami. Mereka adalah buku hidup yang dikirimkan untuk
kami oleh Allah SWT. Maafkan kami yang belum dapat membalas semua kebaikan
kalian. Doa kami, semoga mereka berdua
senantiasa sehat dan di ridhoi Allah SWT. Amiiien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar